
Huftt....bangun telat, padahal hari ini adalah hari pertama ospek di sekolah yang baru yaitu SMA SANTOSA. Aku harus mengejar waktu supaya tidak terlambat untuk ikut ospek. Aku segera siap-siap untuk berangkat ke sekolah dan membawa keperluan untuk ospek. “Ma, Tian berangkat dulu ya. Udah telat nih,” kataku sambil menghidupkan motor kesayanganku.
“Sarapan dulu, nanti kelaparan di sekolah,” jawab mama dari dapur.
“Ga ah, nanti sarapannya di sekolah. Pamit ya ma.”
“Iya, hati-hati di jalan ya nak.”
Aku menambah kecepatan motorku sampai ke sekolah. Trima kasih Tuhan, nggak sia-sia aku ngebut di jalan, ucapku dalam hati. Tiba waktunya ospek, kakak tingkat menyuruh satu persatu mengenalkan nama, dan nyanyi. Aku bingung mau nyanyi apa, tiba-tiba salah seorang kakak tingkat menunjuk aku, “Hei, giliran kamu. Jangan diam saja di situ.” Akhirnya aku maju, “Hai semua, nama saya adalah Tiana Rishiel dan saya akan menyanyikan sebuah lagu Vierra.” Kemudian aku bernyanyi. Selesai giliranku, cowok yang di sampingku maju dan aku mendengar namanya disebut, kalau nggak salah namanya Irvan Ardian. Dia memainkan gitar, dan menyanyikan lagu Indah Pada Waktunya. Suaranya bagus dan yang membuat aku terdiam ialah suaranya mirip seseorang. Dia mengingatkanku kepada seorang sahabat yang telah pergi selamanya karena menolongku dari kecelakaan. Namanya Wawan. Kami adalah sahabat sejak kecil. Dia selalu ada untukku. Kami juga satu kelas waktu SD. Kemana-mana selalu berdua. Aku sering main ke rumahnya dan keluarganya juga sudah menganggap aku sebagai anaknya, begitu juga dengan keluargaku. Saat itu, kami masih kelas VI SD, dan kami masih sering bermain di danau yang kami lewati setiap hari. Suatu waktu, kami pulang dari sekolah. Tiba-tiba dia bertanya dengan wajah yang serius, “Tian, kamu senang nggak menjadi sahabatku?”
“Lagi mimpi apa Wan, kok nanya begitu? Yah, Tian senanglah dan Tian udah sayang banget sama Wawan. Tian kan udah anggap Wawan saudara.” Jawabku sambil tertawa. Aku geli dengan kata-katanya yang seperti itu. “Terima kasih ya, Wawan senang deh.” Katanya lagi. Aku merasa sesuatu yang aneh setelah perkataannya. Kami menyeberang jalan, tiba-tiba mobil lewat dan hampir menabrak aku. Wawan menarik aku dan akhirnya dia yang tertabrak. Aku terkejut dan menangis melihat Wawan tergeletak bersimbah darah. Dia sudah meninggalkan aku selamanya, dan aku takut. Orang tuanya tidak pernah menyalahkan aku, tapi aku merasa membawa sial dalam keluarganya. Sejak saat itu, aku nggak punya sahabat seperti dia hingga akhirnya aku temukan seseorang yang sama persis dengan dia, dialah Irvan. Dia menyanyikan lagu kesukaan Wawan. Aku senang dan merasa Wawan sudah kembali. Selesai menyanyi, dia kembali ke tempat duduknya dan tersenyum saat aku melihatnya. Akhirnya ospek pun selesai, dan pembagian kelas pun telah selesai. Aku dan dia satu kelas, aku mencari tempat duduk dan mendapatkannya, dan dia menuju ke arahku. Aku terpaku ketika dia sudah dekat. “Boleh aku duduk di sampingmu?”katanya.
“ohh...silahkan,” jawabku. “Perkenalkan, namaku Irvan,” katanya dengan mengulurkan tangannya. “Tiana, panggil saja Tian,” jawabku. “Senang berkenalan denganmu,” katanya lagi. “oh..sama-sama,” jawabku. Guru datang ke kelas dan kami pun belajar. Apa mungkin dia masih mau mengatakan senang berkenalan dengan aku ketika dia nantinya tahu masa laluku?? Selesai belajar, aku bergegas merapikan buku, dan aku ingin menuju pemakaman sahabatku, Wawan. Aku melihat gundukan tanah itu, dan aku menangis. “ Wan, aku kangen ama kamu. Kapan ya kita bisa ketemu lagi? Apakah di Surga kamu punya teman baru? Kamu lupa sama aku ya, kamu jahat. Wan, tau nggak ada yang mirip ama kamu. Dia teman satu kelas, dia itu mirip ama kamu, sifatnya, dan lagu yang kamu sukai juga dia suka. Apa itu kamu ya?” aku menangis sesenggukan. Tanpa aku sadari, seseorang melihatku dan mendengar semua apa yang aku katakan. Matahari sudah terbenam, aku bergegas pulang supaya tidak kemalaman di jalan. Tapi, aku merasa ada seseorang yang mengikuti aku. Aku takut, dan tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. “Irvan, kamu kagetin aku saja. Aku pikir kamu itu pencopet, aku udah mau teriak,” kataku. “ha...ha...ha..aku memang sengaja buat kamu kaget kok,” katanya sambil berjalan di sisiku.
“ oh iya, boleh nanya nggak??”
“boleh, mau nanya apa?”
“Tapi, sebelumnya aku minta maaf karena terlalu lancang dengan semua ini. Aku tadi liat kamu di pemakaman dan mendengar kamu bicara. Wawan itu siapa?? Apa dia orang yang istimewa buat kamu??”
Aku terdiam, apakah aku harus menjawab pertanyaannya, pikirku dalam hati.
“ kalau kamu nggak mau cerita juga nggak apa-apa kok.” Katanya lagi. Aku masih ragu, dan akhirnya aku cerita tentang Wawan. Dia adalah orang yang istimewa bagiku. Aku menceritakan tentang persahabatan kami yang begitu erat hingga akhirnya kecelakaan yang merenggut nyawanya. Aku menangis mengingat kejadian itu, Irvan menghiburku. “Aku tau, dia istimewa buatmu dan dia udah tenang di Surga. Kamu nggak perlu takut untuk menjadi sahabat seseorang. aku ingin punya sahabat seperti kamu, kamu mau nggak?”
“kamu nggak nyesal jadi sahabat aku?? Aku takut, aku hanya bawa sial dalam hidupmu.”
“aku nggak percaya itu. Nggak ada salahnya kan untuk mencoba??”
“iya, aku akan berusaha untuk menjadi sahabat kamu. Trima kasih ya..”
“Kita kan sahabat, jadi nggak usah sungkan lagi sama aku.” Ucapnya sambil tersenyum.
Hari-hari kami jalani dengan persahabatan yang erat. Di antara kami selalu memberi nasehat dan solusi jika punya masalah. Kami belajar bersama, bermain, canda, dan menghibur jika ada yang sedih. Entah kenapa Irvan nggak jemput aku. Huftt..kesal..aku nggak ketemu ama dia di kelas. Dia dimana sih, pikirku. Teman-teman masuk kelas dan menyanyikan lagu happy birthday. Ya ampun...aku lupa kalau hari ini adalah ultahku yang ke-17. Tiba-tiba dia masuk membawa kue tart sambil menyanyikan lagu happy birthday. Aku senang banget dan kami merayakan bersama. Irvan mempersiapkan segala sesuatunya untuk merayakan ultahku. Dia memberikan kado, “Met ultah ya sahabatku.” Aku senang dan ku peluk dia sebagai ucapan trima kasihku untuknya. Akhirnya pelajaran pun selesai, dan kami pergi makan dengan naik motor dengan senang. Tiba di sebuah tikungan, ada sebuah mobil lewat dan akhirnya menabrak kami. Kecelakaan itu membuat aku merasa dunia gelap. Aku nggak tau apa yang terjadi setelah itu. Saat aku bangun, aku merasa mataku seperti di perban. Aku mendengar suara tangis yang khas, yaitu suara mama dan aku mendengar suara laki-laki dan mama menyebut dokter. “kamu sudah sadar? Sebentar ya kita buka perbannya.” Ucapnya. Perbannya dibuka, dan aku melihat samar-samar, hingga semuanya jelas. “Trima kasih dokter,” kata mama. Aku masih terdiam dan mencoba mengingat apa yang terjadi. “ma, Irvan dimana? Dia baik-baik aja kan?” Mama menangis,”dia baik kok. Dia lagi istirahat dengan tenang.” Aku lega, dan aku teringat kado yang diberikannya. “Ma, aku ingin tas aku. Disitu ada kado dari Irvan, aku ingin liat.” Mama memberikannya dengan wajah sedih. Aku buka kadonya yang isinya kalung berliontin nama kami berdua. Aku melihat sebuah kertas, dan membacanya,
Untukmu sahabatku
Tian sayang, aku hanya bisa berikan kalung ini untukmu. Pakai dan jaga kalung ini ya. Sayangilah benda ini, seperti kamu menyayangi aku. Aku senang, kamu mau menjadi sahabat terbaik aku. Aku janji, aku akan menjagamu, dan aku nggak akan meninggalkanmu. Aku akan berikan apa pun yang kamu butuhkan. Aku janji. Jangan pernah menganggap kamu pembawa sial. Kamulah sahabat yang terbaik.
Aku menangis membaca surat itu. Mama menangis dan memberikan surat untukku. Aku buka surat itu, dan membacanya
Untukmu sahabatku
Tian sahabatku, maaf ya aku ngga bisa jaga kamu lagi. Aku ingin memberikan apa yang kamu butuhkan. Aku akan melakukan apa pun untukmu sekalipun nyawa ini. Melalui mata ini, aku masih bisa liat kamu, liat dunia, dan apa yang kamu lakukan. Ini semua ku lakukan hanya untukmu sahabatku. Karena kamu begitu berharga di hidupku. Trima kasih untuk semuanya. Moga kamu tidak menyesal berteman dengan aku. Ingat pesanku. Tetap semangat ya...
Irvan
Aku terdiam membaca surat ini, aku mulai menemukan kejanggalan dalam kalimatnya. “Ma, Irvan sebenarnya dimana??” tanyaku. Mama tidak bisa menahan tangisnya, “maafkan mama ya, nak. Mama hanya tidak mau liat kamu sedih. Tapi, kamu udah bisa tebak apa yang sebenarnya terjadi. Irvan sudah meninggal. Ketika kecelakaan itu, kamu nggak sadar, dan Irvan yang terluka parah. Orang membawa kalian ke Rumah Sakit, dan Irvan mendengar dokter mengatakan bahwa mata kamu rusak terkena kaca. Sebelum dia mendonorkan matanya, dia menulis surat ini dan menitipkan kepada mama. Kemudian dia memberikan matanya untuk kamu dan menghembuskan napas terakhir karena kondisinya sudah kritis.
i indah pardede |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar